Social Icons

Baru

Featured Posts

Rabu, Oktober 30, 2013

Langkah Kaki

22 Oct. 2013
Langkah Kaki
By Nur Anisa
Dalam dinginnya malam aku tapakkan langkah kaki dari sebuah pintu. Malam itu sangat hening, hujan sudah lelah menginjakkan kaki di bumi, begitu pun denganku. Hujan berubah menjadi embun, dinginnya sama halnya dengan perasaan saat itu. Entah mengapa suasana begitu melankolis, mungkin alam tahu suasana hati penghuninya. Angin tidak lagi bersuara, aku juga. Mulut ini tertutup sepenuhnya. Apa yang dikehendaki dunia terhadapku aku tidak tahu. Seperti halnya aku, aku pun tidak tahu apa yang aku kehendaki terhadap dunia.
Aku berjalan penuh dengan sekelumit hal dalam kepala, namun jelasnya entah apa yang aku pikirkan. Aku tetap berjalan, tidak dalam kegoyahan- hanya saja tak tentu arah. Apalagi sambil mengingat hal yang cepat atau lambat akan menjadi sebuah kenangan. Entah kemana pikiran ini harus bermuara. Aku takut menghadapi kenangan yang tak termaafkan, dihantui kenangan itu. Aku sedih. “Maaf!” kata ini hanya dapat kuungkapkan dalam hati karena aku tahu sesungguhnya maaf saja tidak cukup. Bagaimana pun aku tidak tahu bagaimana cara menebus dosa ini.       
Dari pintu tadi aku memulainya, dan dari situ pula semuanya berakhir. Masa depan penuh dengan tanda tanya. Aku mencari apa yang ingin aku mau dari dalam pintu itu, kekukuhan hati tahun lalu tidak mengakarkan benihnya hingga saat ini. Mungkin aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku mau. Dari sini aku pikir, betapa pengecut dan egoisnya ‘seorang aku’. Mungkin aku tidak mau mengakui itu sehingga tidak menyadarinya. Dari sini aku belajar. Dari setiap langkah kaki kegelisahan ini aku merefleksikan diri. 

Sabtu, Juli 27, 2013

Di Halte Bis
Oleh Nur AK
Sabtu, 6 Juli 2013
Menjelang petang itu, langit membaurkan buratan warna oren kemerahan, menyuguhkan keindahan alam di tengah hiruk pikuk metropolitan. Gedung-gedung tinggi menghadang semburan warna yang diperlihatkan pada dunia. Seperti sebuah tanda untuk memberitahukan manusia bahwa mereka harus berhenti dari rutinitas, meninggalkan sejenak pekerjaan dan kembali ke peraduan. Orang-orang berhambur keluar dari gedung-gedung tinggi itu. Mereka berlalu-lalang tanpa menghiraukan keindahan alam di kota metropolitan ini. Berpakaian rapih seperti halnya eksekutif muda. Namun, terlihat kepenatan dalam garis wajah mereka. Ya! Kepenatan setelah berjam-jam menghabiskan waktu untuk bekerja, memenuhi tuntutan hidup. Dan aku duduk termangu di halte bis, menikmati sentuhan alam dan seliweran orang dalam kesibukannya masing-masing. Begitu juga dengan orang-orang itu, aku baru pulang dari kantorku. Namun, ku luangkan waktu sejenak untuk sore yang indah ini untuk tidak segera pulang. Jarang aku mengamati keindahan kota super sibuk ini. Kota ini adalah sebuah rutinitas kerja, itu yang setidaknya kurasakan. Tidak ada waktu untuk mengindahkan hal lain selain itu. Rutinitasku tersusun rapi selama 24 jam. Pagi aku berangkat kerja, sore aku aku pulang atau kadang sekedar hangout bersama teman lalu aku kembali untuk beristirahat dan begitu pula hari esok. Kesibukan telah membutakanku dari sisi lain kota ini. Membiarkan aku terhanyut dalam kehidupan yang aku jalani, terhanyut dalam aliran sungai yang terus mengalir, dalam aliran yang tenang. Kadang terbesit dalam diriku untuk melakukan hal lain di luar kesibukan pekerjaanku. Ah! Tapi toh ini membuatku nyaman, hidupku berkecukupan dengan apa yang aku kerjakan, dan keinginan itu pun kembali terlupakan oleh rutinitas.
Waktu sudah menunjukan pukul 09.00 malam dan bis terakhir yang akan kutumpangi tak kunjung datang, tapi tidak apalah, aku menunggu dan menikmatinya. Kota ini tidak lagi seramai sore tadi. Sepertinya orang-orang telah kembali ke rumahnya masing-masing, beristirahat untuk melanjutkan hari. Di atas langit itu, cahaya tenggelamnya sang surya berubah menjadi bintang-bintang ceria. Kembali membuatku tergoda untuk menyaksikan pertunjukkan alam ini. Gemerlapnya bintang-bintang berlomba dengan jutaan cahaya lampu dari tiap gedung raksasa itu. Tapi sayang, terangnya jutaan lampu bumi ini memudarkan cahaya bintang-bintang angkasa itu. Tak lama waktu menjelang satu persatu orang keluar dari rumahnya. Ternyata perkiraan ku salah. Aku pikir keterburu-buruan orang-orang yang tadi sore berseliweran itu pergi untuk beristirahat dan bersiap untuk hari esok yang serupa. De Javu! Kembali aku menyasikan mereka di hiruk pikuk metropolitan ini. Kembali aku mengamati orang-orang yang tadi keluar kantor itu menuju tempat yang mereka mau. Namun, beda halnya dengan sekarang. Tidak ada kesan formalitas di setiap jengkal pakaian yang mereka pakai, tidak lagi gaya seorang eksekutif muda. Setiap orang memiliki gaya pakaian yang berbeda-beda, tidak lagi sekaku tadi sore. Mereka menuju tempat tujuannya masing-masing, aku lihat raut muka kebebasan di sana. Orang-orang itu berjalan ringan, menghentakan setiap langkah terbalut wajah penuh keceriaan dan harapan. Aku terdiam sejenak melihatnya, terkejut melihat betapa mereka berbeda hanya berselang beberapa jam. Kota ini tidak lah sama di setiap jamnya, aku berpikir betapa kakunya aku menjalani hari demi hari. Aku termenung karena mereka dan diriku sendiri.
Kota ini kembali sepi. Setiap orang sepertinya telah tiba di tempat yang mereka masing-masing tuju. Tidak lagi padat dengan lalu-lalang manusia yang penuh dengan pengharapan. Mereka mungkin sudah tiba di tempat tujuannya, barangkali. Aku suka keadaan kota pada saat seperti ini, sunyi dan aman. Hanya ada aku di halte bis itu, masih menunggu bis terakhirku yang tidak kunjung datang. Kini aku tidak lagi ditemani cahaya bintang-bintan, tidak juga cahaya lampu kota yang gemerlap itu. Satu persatu lampu kota dimatikan, bintang kini bersembunyi dibalik tebalnya awan. Tapi aku masih duduk di situ bersama sinar bulan. Bulan kini menerangi kota ini. Bercahayakan sinar bulan, kota ini terlihat samar. Namun, aku masih dapat melihat kota ini dan kekhasan metropolisnya. Waktu hampir menuju ke arah jam 12.00 malam. Beberapa orang hilir mudik di depan ku, entah hendak kemana. Tak jauh aku melihat bisku akhirnya datang juga. Aku bersiap meninggalkan halte ini dan kembali untuk beristirahat. Menjauh dari keramaian metropolitan dan menyiapkan diri untuk hari esok. Bergegas aku naiki bis itu. Di dalam bis aku sendiri, tidak ada penumpang lain. Mungkin sudah terlalu larut bagi orang untuk pulang pada jam-jam seperti ini. Aku duduk di dekat jendela bis, melihat kota ini dari sisi yang berbeda, dari jendela bis kota. Aku kembali mengamati kota itu dari sini, melihat perbedaan yang ia perlihatkan dari tiap waktu dan tiap tempat hingga akhirnya aku terlelap tidur di bis ini, membiarkan bis ini membawaku pergi menuju tempatku beristirahat.